Rasa sepi yang menderaku setelah ditinggal setahun, rupanya membuatku kembali berharap pada mantan suami. Jika kini kita kembali bersatu, salahkah itu?
Pembaca, aku dan Andi (nama samaran) bercerai karena aku memergokinya tengah bermesraan dengan seorang wanita di rumah kost.
Sebenarnya aku masih mencintainya, karena sebelum menikah kami sudah pacaran dan kini dia memberiku seorang anak. Namun, karena tak bisa menahan rasa sakit hati, akhirnya kuputuskan untuk berpisah dengannya.
Setahun lamanya kami tidak pernah berhubungan. Jangankan melihatnya, mendengar kabarnya saja hampir tak lagi. Entah kemana dia, sampai-sampai hubungan kami serasa sudah berakhir. Jujur saja kuakui, selama ini ada rasa rindu yang sulit kuingkari. Aku selalu teringat masa – masa bersamaan dulu. Meski belum dikaruniai anak sebelum kami pisah, namun bagiku Andi lebih dari sekedar teman hidup. Sesudah menjadi sebagian dari kehidupanku.
Sampai suatu hari aku bertemu Dia. Kami sempat berbincang tentang apa yang terjadi diantara kami selama perpisahan itu. Andi tampak kurusan, seperti tak terurus. Aku bisa menangkap raut wajah penderitaan di parasnya. Tapi itulah dia, di hadapanku ia masih saja bersikap biasa dan berusaha menyimpan beban yang menghimpitnya selama ini. Rasa iba daam diriku mulai muncul. Aku ingin seperti kembali bersatu dengannya. Bukan hanya karena masih ada sisa-sisa cinta dalam diriku, akan tetapi sebenarnya, rasa iba itulah yang menyebabkan aku ingin kembali.
Andi mengaku telah menghabiskan waktu di luar kota untuk melupakan apa yang telah terjadi di masa lalu. Itu sebabnya, ia belum memikirkan untuk menikah lagi. “Aku masih mengingat masa lalu kita. “Aku sulit untuk lepas dari itu”, begitu ia bertutur kepadaku.
Rasa iba menyeruak di hatiku mendengar pengakuan lelaki yang 4 tahun menjadi suamiku itu. Garis wajahnya masih menyiratkan kelembutan dan keterbukaan. Tapi sayang, semua itu tak mampu merubah kenyataan bahwa kami sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Rasa sakit yang kuderita karena pengkhianatannya jauh lebih besar ketimbang semua itu.
Andi ingin agar aku memaafkannya sebelum kembali ke perantauan. Permintaannya ku iakan, bahkan kami janjian untuk makan malam sebagai tanda keakuran kami. seminggu kemudian ia bertandang ke rumah menemuiku. Andi kelihatan sangat kangen walau ia bukan lagi bagian dari kehidupanku.
Begitu seterusnya, Andi yang tinggal selama 2 bulan di kota ini, setiap sabtu malam menyempatkan diri berkunjung ke rumah ku. Lama – lama kedekatan kami sudah sulit dipisahkan. Bahkan kali ini aku benar – benar dibuat lupa ketika tanpa sadar aku dan ia mulai terlibat pembicaraan yang mengarah ke hal yang sensitif. Sampai semuanya berakhir di ranjang. Sekian tahun berpisah, malam itulah aku dijamah lelaki, kami sempat menyesalinya tapi, malam – malam berikutnya kembali terjadi. Kehangatan yang ia hadirkan malah lebih dahsyat dari yang kurasakan sebelumnya.
Sekarang aku malah bingung. Aku selalu butuh kehadirannya setiap malam, seolah membawaku kembali ke masa lalu yang sangat bahagia. Bagaimana aku mengakhiri semua ini, sementara batinku mengharap Andi kembali menjadi suamiku. Tapi, bukankah ini sama halnya menjilat ludahku sendiri ?
sumber:ceritacurhat.com


0 Responses so far.

Posting Komentar